Senin, 27 Februari 2012

Women Empowerment

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
(WOMEN EMPOWERMENT)
 
A.    Pemberdayaan Perempuan Dalam Pembangunan Berkelanjutan
Bangsa yang maju mengakui perlunya perbaikan kualitas, status, dan peran perempuan dalam pembangunan untuk meningkatkan keadilan sosial dan memenuhi hak-hak azas manusia yang setara antara perempuan dan pria. Di samping itu, peningkatan kualitas perempuan menjadi dasar untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan bagi suatu bangsa (Parawansa, 2003)
Analisa ekonomi ini memberikan bukti bahwa rendahnya pendidikan dan ketrampilan perempuan, derajat kesehatan dan gizi yang rendah, serta terbatasnya akses terhadap sumber daya pembangunan, akan membatasi produktivitas bangsa, membatasi pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi efisiensi pembangunan secara keseluruhan. Dengan demikian upaya peningkatan kualitas perempuan dilakukan dalam rangka menciptakan kesetaraan hak-hak asasi dan keadilan sosial bagi perempuan dan pria, serta alasan efisiensi ekonomi dalam pembangunan yang berkelanjutan (Parawansa, 2003)
Sementara itu, pembangunan nasional yang didesain sebagai upaya peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan, berlandaskan kemampuan nasional, dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Berbagai program pembangunan telah dilancarkan untuk mencapai tujuan tersebut. Namun fenomena yang tampak belakangan ini menginformasikan kepada kita bahwa tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia menjadi lebih berat dan kompleks, termasuk di dalamnya adalah kualitas sumber daya manusia terutama yang berkenaan dengan kualitas perempuan Indonesia yang belum begitu menggembirakan. Padahal dalam rangka menghadapi era globalisasi pada masa sekarang ini, kebutuhan akan kualitas sumber daya manusia khususnya dari kalangan perempuan yang lebih unggul dan mampu bersaing dalam tatanan kehidupan global merupakan kebutuhan yang sangat urgent (Parawansa, 2003).
Di era reformasi sekarang ini yang menuntut berbagai perubahan di sejumlah sektor kehidupan seperti terwujudnya good governance, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), desentralisasi, transparansi dan akuntabilititas dalam bermasyarakat dan bernegara, upaya peningkatan kualitas kehidupan perempuan semakin menampilkan parasnya yang kian mempesona. Hal ini disebabkan serangkaian tuntutan itu pada dasarnya merupakan pengejawantahan dari hak setiap individu untuk mendapatkan kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik disemua elemen kehidupan seperti ekonomi, politik, hukum dan pertahanan, keamanan (Parawansa, 2003)
Meskipun demikian upaya peningkatan kualitas kaum perempuan bukanlah sesuatu yang mudah, karena berbagai persoalan pelik yang melilitnya, dan semakin rumit karena acap kali permasalahan itu saling berkaitan antara yang satu dengan yg lain (Parawansa, 2003)
Persoalan penting yang secara kasat mata tampak menghalangi upaya meningkatkan kualitas golongan perempuan adalah pendekatan pembangunan kita yang belum benar-benar mengindahkan kesetaraan dan keadilan gender. Di samping itu, perempuan secara kodrati memiliki fungsi-fungsi reproduksi yang berbeda dengan pria, yaitu haid, hamil, melahirkan dan menyusui. Hal tersebut merupakan suatu proses yang sangat menentukan derajat kesehatan dirinya dan anak kandungnya. Dalam kaitan ini, dapat dipastikan bahwa kualitas perempuan sebetulnya merupakan kondisi dasar yang ikut mempengaruhi rendahnya kualitas generasi penerusnya. Misalnya, kualitas kesehatan dan pendidikan seorang ibu yang relatif rendah, pada gilirannya akan menghasilkan anak yang tumbuh kembangnya tidak sempurna. Karena itu, masalah perempuan adalah masalah pokok dalam kesejahteraan rakyat dan kependudukan lndonesia (Parawansa, 2003)
Salah satu penyebab tidak langsung terjadinya kematian ibu adalah kedudukan dan peran wanita dalam keluarga maupun di masyarakat. Adapun salah satu kebijakan dasar penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yaitu meningkatkan pemberdayaan perempuan (Hartanto, 2009).

B.     Permasalahan dan Tantangan Pemberdayaan Perempuan di Indonesia
Dalam Millennium Development Goals (MDGs) tercantum tujuan ketiga yaitu mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (women empowerment). Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan, lebih baik pada 2005, dan di semua jenjang pendidikan paling lambat tahun 2015. Yang menjadi indikator utama adalah rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki di pendidikan dasar, lanjutan dan tinggi. Disini Indonesia tampaknya sudah mencapai target, dengan rasio 99,4% di sekolah dasar, 99,9% di sekolah lanjutan pertama, 100,0% di sekolah lanjutan atas, dan 102,5% di pendidikan tinggi. Indikator kedua adalah rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki untuk usia 15-24 tahun. Disini pun, tampaknya kita telah mencapai target dengan rasio 99,9%. Indikator ketiga adalah sumbangan perempuan dalam kerja berupah di sektor non-pertanian. Disini kita masih jauh dari kesetaraan. Nilainya saat ini hanya 33%. Indikator keempat adalah proporsi perempuan di dalam parlemen, dimana proporsinya saat ini hanya 11,3% (Suzetta, 2007).
Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender dalam pembangunan adalah sebagai berikut.
Pertama, meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan. Rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, antara lain, disebabkan oleh:
1.      Terjadinya kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat, dan partisipasi dalam pembangunan, serta penguasaan terhadap sumber daya, terutama di tatanan antarprovinsi dan antarkabupaten/kota
2.      Rendahnya peran dan partisipasi perempuan di bidang politik, jabatan-jabatan publik, dan di bidang ekonomi.
3.      Rendahnya kesiapan perempuan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim, krisis energi, krisis ekonomi, bencana alam dan konflik sosial, serta terjadinya penyakit. Hal ini, antara lain, ditunjukkan dengan rendahnya peningkatan nilai IDG setiap tahunnya yang mengindikasikan bahwa peningkatan kesetaraan gender di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan, politik, serta pengambilan keputusan belum signifikan.
Kedua, meningkatkan perlindungan bagi perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan. Hal ini terlihat dari masih belum memadainya jumlah dan kualitas tempat pelayanan bagi perempuan korban kekerasan karena banyaknya jumlah korban yang harus dilayani dan luasnya cakupan wilayah yang harus dijangkau. Data Susenas 2006 menunjukkan bahwa prevalensi kekerasan terhadap perempuan sebesar 3,1 persen atau sekitar 3-4 juta perempuan mengalami kekerasan setiap tahun. Namun, hingga saat ini, pusat krisis terpadu (PKT) untuk penanggulangan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perdagangan perempuan hanya tersedia di 3 provinsi dan 5 kabupaten. Di samping itu, masih terdapat ketidaksesuaian antarproduk hukum yang dihasilkan, termasuk antara produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dengan daerah, sehingga perlindungan terhadap perempuan belum dapat terlaksana secara komprehensif. Oleh sebab itu, tantangan kedua yang harus dihadapi ke depan adalah meningkatkan koordinasi pelaksanaan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan bagi perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan dan diskriminasi.
Ketiga, meningkatkan kapasitas kelembagaan PUG (Pengarusutamaan Gender) dan pemberdayaan perempuan. Permasalahan yang muncul dalam meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan serta perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan, antara lain, disebabkan oleh belum efektifnya kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan yang terlihat dari
1.      Belum optimalnya penerapan peranti hukum, peranti analisis, dan dukungan politik terhadap kesetaraan gender sebagai prioritas pembangunan
2.      Belum memadainya kapasitas kelembagaan dalam pelaksanaan PUG, terutama sumber daya manusia, serta ketersediaan dan penggunaan data terpilah menurut jenis kelamin dalam siklus pembangunan
3.      Masih rendahnya pemahaman mengenai konsep dan isu gender serta manfaat PUG dalam pembangunan, terutama di kabupaten/kota.
Untuk itu, tantangan yang harus dihadapi adalah meningkatkan kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan, serta koordinasi pelaksanaannya.
(Alisjahbana, 2010)
Sasaran pengarusutamaan gender adalah meningkatnya kesetaraan gender, yang ditandai dengan:
1.      Meningkatnya kualitas hidup dan peran perempuan terutama di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi termasuk akses terhadap penguasaan sumber daya, dan politik
2.      Meningkatnya persentase cakupan perempuan korban kekerasan yang mendapat penanganan pengaduan
3.      Meningkatnya efektivitas kelembagaan PUG dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan yang responsif gender di tingkat nasional dan daerah.
(Alisjahbana, 2010)

Referensi : 
Alisjahbana AS. 2010. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Jakarta: Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Hartanto. 2009. Peran Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4KP4K)dalam Pelaksanaan Pembangunan Kesehatan dan KB (disampaikan dalam Rapat Kerja Daerah Keluarga Berencana Provinsi Jawa Tengah). Semarang: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah

Parawansa KI. 2003. Pemberdayaan Perempuan Dalam Pembangunan Berkelanjutan. Bali: Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Suzetta P. 2007. Kita Suarakan MDGs Demi Pencapaiannya di Indonesia. Jakarta: Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih... ^___^